The Negatif Rhizome

Ada wilayah arsir yang membentuk lintasan, yang entah saling berpas-pasan atau berpotongan atau bahkan menyatu diantara setiap entitas yang ada sekarang. Kini kita sulit menemukan satu entitas berdiri secara mandiri dan disiplin. Politik, Ekonomi, Sosial, Agama, Budaya bahkan seksualitas saling meleburkan diri, antara satu dengan yang lain. Saling dobrak tembok pembatas dan menegasikan disiplin masing-masing diskursus.

Seperti tanaman jalar yang saling mengikat antara satu dengan yang lain. Sehingga kita akan sulit membedakan akar, batang dan daun taman-taman tersebut. Transentitas yang membentuk garis-garis leburan antara satu diskurs dengan diskurs lainnya. Misalnya politik yang sudah sangat sulit dipisahkan dari hukum, ekonomi bahkan hiburan. Ranah budaya dan agama yang terkadang membentuk wilayah arsir yang sulit diklasifikasi atau didikotomi spirit radikalnya.
Jika jaringan-jaringan ini didorong untuk suatu kemajuan, maka diskursus tersebut membentuk wilayah kajian baru yang akan menghadirkan solusi-solusi penting, dalam kehidupan masing-masing entitas. Namun yang terjadi belakangan, wilayah arsir tersebut, didompleng oleh spirit negatif yang sifatnya seperti parasit dan merugikan (mengaburkan) eksistensi masing-masing entitas atau dalam kajian posmo disebut negatif rhizome.

Sebuah kondiri dimana satu entitas mendominasi entitas yang lain, untuk mengaburkan makna sebenarnya entitas tersebut. Padahal pada awal-awal modernisme, wilayah arsir ini, bermaksud memberi peluang untuk saling menguatkan entitas masing-masing. Kita akan sulit menafsir hukum tanpa dominasi politik (kekuasaan). Ekonomi akan mendominasi politik dan hukum. Agama kini ternegasikan oleh spirit sosial dalam tafsir mayoritas yang menegasikan nilai-nilai dasar keagamaan.
Politik yang sulit berdiri sendiri kini, membuat kita menafsirnya secara transpolitik. Menghubungkannya dengan entitas-entitas lain. Diwaktu yang sama kita juga akan membincangkan soal transekonomi, transhukum, transsosial dll.     

Spirit negatif yang memenuhi wilayah arsir tersebut yang kini sedang meleburkan diri, berinteraksi, saling bentur, melebur, saling menyilang dan membentuk mesin kepentingan (interest mechine) dan  akhirnya mematahkan mesin kebenaran (truth mechine).Di dunia seperti ini, akan terbentuk kondisi yang sangat miskin akan kepercayaan (trash). Aaura negatif akan selalu membayangi interaksi kehidupan kita dengan berbagai kejahatan-kejahatan yang bentuknya sulit diprediksi.   

Tumpang tindih kepentingan ini bersifat negatif dan seperti parasit menempel di setiap sistem, struktur, organisasi, kelompok terutama negara. Ia akan menggorogoti setiap tempat dimana dia hidup dan akhirnya merusak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.

Karena seorang polisi punya bisnis kejahatan, maka dia akan sulit menumpas kejahatan secara tuntas. Karena akademisi punya kepentingan politik maka sulit baginya untuk menjadi kontributor ilmu yang etis. Seorang kyai akan sulit menilai interaksi kebudayaan jika kepentingan sosial kelompoknya membayangi setiap interaksinya. Dan negara karena punya kepentingan bisnis eksploitasi alam, maka akan sulit melakukan menyejahteraan masyarakat yang berbasis keadilan dan ramah lingkungan.


Wilayah arsir ini harus diarahkan menjadi the positif rhizome. Pembauran entitas yang disokong oleh spirit kebenaran dan bukan kepentingan. Spirit kebenaran, akan menjadi penguat bagi setiap entitas, untuk mencapai tujuan-tujuan mulia yang diembannya. 

Tapak-tapak Sakti


Hujan yang mengepung tanah pada hakikat harfiahnya, tidak sekedar basah dalam kesejukan. Namun juga memberi kehidupan baru pada bumi. Hujan selalu menjadi energi bagi bumi. Tidak sekedar untuk bisa bertahan hidup, namun juga berubah dan berkembang. Kira-kira seperti itu hidayah bagi setiap hati yang dihinggapi. 

Sakti adalah salah satu personil Sheila On 7 yang paling besar pengorbanannya. Setelah menjajaki Jakarta dan tidur di samping kandang ayam menunggu panggilan rekaman, dia juga harus mengorbankan mobil VW col untuk biaya awal tapping. Berbuah manis. Baru album pertama, SO7 berhasil meraih pendatang terbaik dan penjualan album terbanyak versi Anugerah Musik Indonesia Award. 

Album-album selanjutnya seperti kacang goreng. Diborong fans tanpa sisa dan mencapai puncak pada peluncuran album Syepia. SO7 tak tertandingi. Lirik-lirik mereka adalah cermin paling aktual anak muda Indonesia. Komposisi musik mereka bergenre pop alternativ yang merupakan warna baru di nusantara.
Namun seperti menjadi sebuah kewajiban bahwa setiap band besar selalu menemui titik krisis nya selepas klimaks ketenaran mereka. SO7 juga mengamalami etape wajib itu. Sakti yang merupakan salah satu personil yang terganteng dan terbanyak fansnya menyatakan diri, keluar.

Publik termasuk saya langsung berkesimpulan sama. Sebuah band selalu menemui dinamika internalnya jika sudah mandi keteneran dan berlimpah harta. Mereka akan konflik satu sama lain dan akhirnya pecah atau ada personil yang hengkang. Ternyata, publik termasuk saya salah. SO7 tidak sedang berkonflik. Sakti tidak sedang marah dan berbeda prinsip dengan personil lainnya.

Infotaimen merilis penyataan konfrensi pers SO7 terkait hengkanya Sakti. Dengan senyuman dan candaan khasnya, Eros memberi keterangan bahwa “Sakti mau fokus belajar dulu” saat pewarta infoteimen mengejar pernyataan ini, Eros menegaskan “Sakti mau belajar agama”

Ah bodoh sekali Sakti. Begitu publik berguman sinis. Sama seperti saya. Emang agama melarang kesuksesan ? atau seberapa berat sih belajar agama, sampe harus meninggalkan berbagai kemegahan yang dirintis dari 0 itu. Sekali lagi publik dan termasuk saya sinis.

Terkhusus saya yang juga belajar agama sejak kecil dan kebetulan juga merintis nasib dengan main band, benar-benar tidak habis pikir. Jangan-jangan agama yang di pelajari Sakti itu ‘sesat’. Sikap Sakti itu secara tidak langsung menghina saya dan bejibun musisi yang belum masuk kategori artis. Kita cape-cape merintis perjalanan band secara keras, bersaing masuk dapur rekaman, menciptakan lagu berulang-ulang kali untuk mendapat apa yang di genggam sekarang olehnya, eh dia malah tinggalkan begitu saja. Sampai pada titik kedongkolan paling rajam, dengan tawa canda yang sinis kami meramai-ramai menertawai Sakti “ah sok agamais loe”

Tapi hidup tidak statis. Edane dalam sebuah album yang bertajuk “rock In 80’an” meneriakkan lantang “hidup ternyata ga se rock n roll yang kita pikirkan” hidup berberak dinamis- jika tidak mau menyebutnya keras.

Antara Langit dan Bumi.


Setelah beberapa hari yang mumat karena dinamisnya hidup, dua hari terakhir saya coba cari lagi Sakti yang dulu kita tertawai itu. Maklumlah, saat susah dan tersandera kegalauan, setiap manusia punya cara sendiri menemukan wadah pelarian. Selain mulai membaca-baca lagi buku agama, untuk mencari-cari pembenaran penguat hati. Aku juga mulai mengeluh-ngeluh lagi ke Tuhan. Sholat, puasa sunah, tahajud, duha, mengaji dan sesekali sedekah, meski kondisi tragis. Dan mencari-cari sejarah pertobatan personal-personal yang kebetulan dihinggapi hidayah.

Saya cari lagi Sakti. Siapa tau ada yang pisa dipetik. Cari di youtube, google dan fasilitas internet lainnya. Subahanaullah. Selain malu menampar pipi bolak balik dengan palu ghodam, rasa iri juga menusuk-nusuk ulu hati. Si “sok agamais” itu seakan menanyakan padaku “bagaimana bro? Nyaman? Tenang ?”

Yang pasti level ketundukan sudahlah Sakti jauh diatas. Berarti secara keilmuan juga tentu lebih jauh lagi meninggalkan saya. Dan yang paling membuat iri adalah latar belakang motiv “berpidah” Sakti. Ditengah gelimang harta, bermandikan penghargaan juga terseok-seok dengan pujaan, Sakti memilih bersikap dengan mantap. Dan setelah bersikap, Sakti menjaga konsistensinya (istiqomah) dalam kebahagiaan yang jauh dari retapan. Apa sikap ini membuat Sakti terpuruk ? tidak ! derajatnya naik, lebih terhormat dan lebih mulai, tidak hanya di hadapan manusia, tapi juga di hadapan Allah. Lalu kemudian dia merasa berkekurangan ? juga tidak. Dari artis, Sakti memilih berjualan kaos dan baju muslim di Jogja. Dengan enteng Sakti berguman “soal rezeki saya serahkan pada bos-nya Bos, yaitu Allah Ta’ala”

Seperti langit dan bumi, bedanya. Saya justru mengingat-ingat lagi bacaan sholat ketika tertimpa kesialan yang disebabkan oleh ketelodoran pribadi. Ketika harta hilang tiba-tiba sebab boros, tertipu oleh orang-orang, di kerjain, dimarah-marahi istri dan hina di mata keluarga. Jika Sakti lebih kepada menyelami cobaan, saya lebih tepatnya mengundang adzab.

Sakti meninggalkan kebahagiaan dunia untuk menyempurkan sikap dihadapan Tuhannya. Saya jutru ditinggalkan kebahagiaan dunia, baru kemudian tersontak dan merintih. Masih sempat-sempat pula memohon agar semua yang berbau-bau dunia itu dikembalikan lagi.

Meski hingga detik ini saya tetap berkeyakinan bahwa Sakti punya ilmu yang jauh menggantung diatas saya, tapi sempat saja keyakinan itu membuat otak meratap tak percaya pada kenyataan. Semacam kurang yakin jika Sakti bisa menyaingi saya, minimal berimbang dalam hal melahap buku-buku yang di tulis oleh ulama-ulama terkenal. Mendiskusikannya, bahkan sesekali menceramahinya untuk berbagi ke teman-teman. Saya dibesarkan oleh kedua orang tua yang sejak saya nongol dibumi, hingga mama almarhum dan papa kini menua tetap pada garis sayariat agama. Saya koq kurang yakin ya, jika Sakti pun punya ortu sehebat Papa dan Mama dalam hal agama. Jangankan asmahul husnah, Al Quran pun di hafal luar kepala sama Papa dan Mama.

Maka melihat kembali Sakti, terasa diri begitu kecil dan hina. Kecil sebab belum seberapalah pengorbanan ini jika dibanding Sakti. Meninggalkan kebejatan bukan karena memilih, tapi keterpaksaan karena situasi yang lagi apes. Yang pada tataran ini, konsistensi pun masih perlu teruji. Jangan-jangan ketika diberi kesempatan atau peluang untuk bejat lagi, eh malah tambah bejat.

Terasa Hina sebab mengabaikan ilmu/pengetahuan. Ini sikap yang bisa dikatakan tingkat kesialannya, lebih tinggi satu digit di atas bodoh. Bodoh itu, tidak tau, atau belum tau. Tapi kalau “mengabaikan” ilmu, itu kerugian diatas bodoh. Masa sih, tau ilmunya tapi diabaikan. Bahkan untuk sebagian kasus, pengabaian ilmu/pengetahuan ini sudah dialami akibat buruknya. Tapi tetap saja bebal.

Mengenali agama sejak orok membuat saya justru semakin jauh dari keberuntungan dalam mengecap nikmatnya hidayah. Sedangkan Sakti ? justru disirami hidayah saat bahagia dunia sedang di tingkat tertingginya. Ah bodoh sekali saya.

Tapi sudahlah. Membanding-bandingkan sembari mengidolai Sakti tidak akan bisa merubah segalanya tanpa tahapan selanjutnya; menerapkannya. Tuhan menguji setiap umatnya dengan tingkat kemampuannya masing-masing. Sakti salah satu bukti nyatanya. Mungkin juga banyak Sakti-Sakti lain yang mengkin lebih dahsyat namun luput dari publikasi.


۞ سَيَقُولُ ٱلسُّفَهَآءُ مِنَ ٱلنَّاسِ مَا وَلَّىٰهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ ٱلَّتِى كَانُوا۟ عَلَيْهَا ۚ قُل لِّلَّهِ ٱلْمَشْرِقُ وَٱلْمَغْرِبُ ۚ يَهْدِى مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".QS. Al-Baqarah ; 142




Berdamai Dengan Tekanan



Untuk menemukan harta karun, kita harus cerdas membaca peta-nya. Dan kebanyakan peta harta karun itu selalu abstrak. Dalam menemukannya, kita harus melewati terjalnya gunung, luas samudera dengan gelombang yang mengaung, dinginnya udara dan teriknya mentari. Yang kesemua itu bukan sekedar kebetulan tentang  ‘kesialan’ atau tantangan semata.  Bisa jadi itu petunjuk. Sebuah keharusan yang mesti dilalui sebagai jalan. Dan lagi-lagi waktulah hakim nya. Memutuskan seberapa kuat dan cerdas kita bertahan untuk meraih harta karun itu. 


Ini sebab, belakangan, tekanan terasa semakin berhikmah. Jika harus flash back pada pengalaman pribadi saya sebagai sample, misalnya saat masa awal-awal berhadapan dengan dunia nyata selepas Ortu ogah-ogahan memberi santunan, tekanan adalah sekedar kesialan. Sebuah kegagalan sementara yang menunda kesuksesan. Kala itu, masih mampu berpikir bahwa tekanan sekedar “sukses tertunda”. Tertunda karena kurang rajin, malas disiplin atau sebab kenakalan-kenakalan kecil saja. Nanti juga akan sukses lagi, jika ada perubahan-perubahan kecil pada diri.

Ternyata tekanan yang sering menyapa secara tiba-tiba itu, tidak sekedar “sukses tertunda” yang hampa nilai. Ada tuntunan sekaligus keharusan yang tidak bisa dihindari. Seperti Peta menuju lumbung “harta karun”. Dan hanya orang-orang yang bisa menafsirnya menjadi sebuah petunjuk, yang bisa melewatinya.

Tak heran jika para bijak bestari selalu menggunakan kata “ambil hikmahnya” sebagai nasehat yang paling tepat saat dikonsultasikan tentang kegagalan, tekanan bahkan tantangan.  Dan belakangan secara pribadi, saya baru mahfum bahwa hikmah yang dimaksud bukan ludah yang dengan mudah kita telan dan sudah itu selesai.

Ada proses pembelajaran yang harus kita jajaki. Bisa jadi itu baru Bab awal pelajaran panjang tentang apa yang disebut hikmah. Hikmah yang bukan sekedar ilmu “menghindari kesialan” tapi ilmu tentang bagaimana berdamai dengan tekanan. Tekanan yang lahir dari kegagalan atau kesialan atau bahkan kebahagiaan. Sebab secara religius yang namanya cobaan itu milik semua mahkluk. Mau makhluk yang gemar bersujud dan khusuk bermunajah, atau makhluk bejat yang cuek Tuhan sekali pun.

Benar memang, setiap kita bukan Nabi yang sengaja  dihadirkan sebagai teladan. Namun, buat apa nabi dihadirkan jika pengikutnya sulit mencontoh. Trus kendalanya apa ? Sebagai makhluk yang gemar disapa kegagalan, mungkin saya bisa sedikit berbagi kesimpulan yang dipetik dari risalah-risalah para bijak; sebagai pengikut para Nabi, kita hanya butuh terbiasa. Atau membiasakan diri, lebih tepatnya. Tidak harus menjadi Nabi, tapi setidaknya mengikuti petunjuk-pentunjuknya sebagai peta.    

Tekanan tidak melulu soal istri yang kecewa suaminya selingkuh, suami yang gagal membelikan mainan si bungsu, orang tua yang menyesali sikap bejat anaknya. Tekanan bisa hadir dalam rupa yang  sangat membahagiakan. Menang lotre mungkin, sukses berniaga, beristri cantik, bersuami setia atau sekedar lulus tes PNS. Sebab rupa yang membahagiakan itu selalu memikul beban. Dan sebuah kondisi yang ‘butuh’ kiat-kiat untuk mempertahankan, adalah tekanan yang terselubung halus.

Ini bukan tentang “harus memilih” sebab memilih itu, selalu saja soal dua atau lebih pilihan. Ini tentang “harus mengambil” sehingga hikmah yang dimaksud tidak berada pada ruang kosong yang hampa. Dan jika diharuskan untuk mengambil, maka proses ‘mengambil itu yang harus dimaknai. 

Secara sederhana; Ada dua unsur  yang perlu kita dorong sebagai sebuah sikap. Ikhtiar (usaha) untuk mengambil hikmah dan kepasrahan (penyerahan) pada tekanan. 

Kopi-nya Dee

Judul buku : Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
Penulis : Dewi ‘Dee’ Lestari
Penerbit : Truedee Books dan GagasMedia
Tahun terbit : 2006
Jumlah halaman : 134
No. ISBN : 979-96257-3-4


Ketika Jurnalisme dibungkam, maka sastra adalah ruang tak bertuan yang siap menampung kegaduhan, kemarahan, kebahagiaan atau sekedar kekecewaan. Kira-kira begitu Seno Gumirah berceloteh dan belakangan menjadi trend memei yang berhamburan di internet.

Namun Jurnalisme tidak sedang dibungkam. Bungkam dalam artian “me”ngekang. Tapi Bungkam dalam spirit alienasi. Sebuah ketercerabutan eksistensi yang mengasingkan entitas dari sebuah kesadaran, menjadi ketidak sadaran. Kira-kira seperti itu Jurnalisme kita sedang bernasib.

Terasing justru disaat tak ada sedikit pun aturan yang melarangnya untuk melangsungkan fungsinya sebagai pewarta. Maka mereka-mereka yang gugur sebagai pahlawan pewarta di waktu yang silam akan cukup tersenyum sebagai jasad ketika membaca setiap perkembangan kesastraan tanah air.

Ketika Jurnalisme hanya milik orang-orang dengan pemikiran tentang kekuasaan dan keuntungan, sastra menyelip sebagai kendaraan bebas hambatan bagi mereka yang cinta pada kebebasan.  Kendaraan ini menampung bejibun keresahan aksara yang tidak sekedar untuk dikomersilkan di tengah-tengah interupsi kerasnya iklan-iklan produk.

Meski kini sastra juga terhimpit manisnya budaya pop dengan berbagai embel-embel-nya, tapi bukankah sastra tak harus dikonsumsi.  Sekedar dinikmati secara bebas di fasilitas Media Social yang bebas anggaran pun, Sastra menjadi berarti. Tidak seperti Jurnalisme masa kini. Sebuah reportase dikatakan sukses jika konflik yang ditampilkan berelasi dengan kekuasaan.

Sastra tidak.  Dan Dee “memanfaatkan” ruang itu.  Memanfaatkan karena dia seorang penyanyi. Selain itu juga artis. Sebuah profesi yang bisa bebas masuk-keluar sebagai item reportase dalam kepentingan apa pun. Dee memanfaatkan, karena dunia sastra bukan akting kejar tayang yang secara terkini, diminati oleh hampir semua jenis artis.  Mulai dari Mc, penyanyi, atau sekedar talenta sensasi.  

Dunia Sastra berbeda.  Wadah ini lebih selektif dalam mempublis kualitas. Jika sekedar mengejar setoran, maka si pelaku yang iseng-iseng masuk dunia ini akan terpelanting keluar dengan tragis. Tapi tidak dengan Dee.

Meski termasuk yang paling telat membaca karya Dee ini : Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade. Namun saya termasuk penikmat yang tercengang dengan suguhan karya ini. Dee meramu aksara secara khas. Awalnya nama Dee lebih familiar di mata saya dengan karya-karya novel yang lebih panjang dan memiliki ruang yang luas untuk berekspresi. Namun kali ini Cerpen dan prosa.

Awalnya jujur saja, saya orang yang tidak terlalu percaya pada talenta seorang penulis novel pop akan juga mampu menyusun cerpen sekaligus prosa se-indah ini. Adalah Goenawan Mohammad yang menarik perhatianku. “ah masa sih Goenawan Mohammad mau nguras kualitasnya hanya untuk sebuah kumpulan cerpen penulis muda” begitu pikir saya. Tapi baru lembar kedua, kesombongan saya terjawab. Dee memang layak.

Dengan karya kecil ini, Dee mencoba menampilkan Sastra kental yang disisip celoteh “kata-kata pop” sebagai pemanis. Ke khas-an nya di setiap novelnya pun terurai rapi dalam setiap cerpen. Tidak ada pembeda yang berarti, seperti yang kita temui pada pe-novel kebanyakan, yang nyambi nulis cerpen.

Meski kebanyakan cerpen dan prosanya mewakili keluhan yang tidak difalitasi Jurnalisme, tapi Dee tetap menjaga kesopanannya menyajikan aksara. Membebaskan gaya tuturnya dengan tetap menjaga plot di setiap cerita. Susunan cerpen dan prosanya pun rapi. Menjaga ritme emosi si penikmat hingga merasa terus haus untuk menenggak setiap kata dengan perlahan.

Selain Filosofi Kopi, Saya jatuh cinta pada Lara Lana. Dua cerita ini memiliki semua unsur kesastraan kontemporer. Nakal tapi sopan dengan presentasi kata yang rapi dan mencengangkan. Seperti pada pengantarnya Mas Goen memuji Dee pada setiap peletakan kata yang tidak hanya sekedar.

Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade. Disuguhkan dengan ramuan yang hati-hati. Tidak terlalu keras tapi juga ada berbagai penegasan disana. Lembut namun jauh dari picisan. Seperti Kopi Tiwus. Meski lahir dari kesederhanaan, tapi memiliki cita rasa yang mewah, bahkan megah.

Halmahera
20 Maret 2015

Jumat, 06 November 2015

The Negatif Rhizome

Ada wilayah arsir yang membentuk lintasan, yang entah saling berpas-pasan atau berpotongan atau bahkan menyatu diantara setiap entitas yang ada sekarang. Kini kita sulit menemukan satu entitas berdiri secara mandiri dan disiplin. Politik, Ekonomi, Sosial, Agama, Budaya bahkan seksualitas saling meleburkan diri, antara satu dengan yang lain. Saling dobrak tembok pembatas dan menegasikan disiplin masing-masing diskursus.

Seperti tanaman jalar yang saling mengikat antara satu dengan yang lain. Sehingga kita akan sulit membedakan akar, batang dan daun taman-taman tersebut. Transentitas yang membentuk garis-garis leburan antara satu diskurs dengan diskurs lainnya. Misalnya politik yang sudah sangat sulit dipisahkan dari hukum, ekonomi bahkan hiburan. Ranah budaya dan agama yang terkadang membentuk wilayah arsir yang sulit diklasifikasi atau didikotomi spirit radikalnya.
Jika jaringan-jaringan ini didorong untuk suatu kemajuan, maka diskursus tersebut membentuk wilayah kajian baru yang akan menghadirkan solusi-solusi penting, dalam kehidupan masing-masing entitas. Namun yang terjadi belakangan, wilayah arsir tersebut, didompleng oleh spirit negatif yang sifatnya seperti parasit dan merugikan (mengaburkan) eksistensi masing-masing entitas atau dalam kajian posmo disebut negatif rhizome.

Sebuah kondiri dimana satu entitas mendominasi entitas yang lain, untuk mengaburkan makna sebenarnya entitas tersebut. Padahal pada awal-awal modernisme, wilayah arsir ini, bermaksud memberi peluang untuk saling menguatkan entitas masing-masing. Kita akan sulit menafsir hukum tanpa dominasi politik (kekuasaan). Ekonomi akan mendominasi politik dan hukum. Agama kini ternegasikan oleh spirit sosial dalam tafsir mayoritas yang menegasikan nilai-nilai dasar keagamaan.
Politik yang sulit berdiri sendiri kini, membuat kita menafsirnya secara transpolitik. Menghubungkannya dengan entitas-entitas lain. Diwaktu yang sama kita juga akan membincangkan soal transekonomi, transhukum, transsosial dll.     

Spirit negatif yang memenuhi wilayah arsir tersebut yang kini sedang meleburkan diri, berinteraksi, saling bentur, melebur, saling menyilang dan membentuk mesin kepentingan (interest mechine) dan  akhirnya mematahkan mesin kebenaran (truth mechine).Di dunia seperti ini, akan terbentuk kondisi yang sangat miskin akan kepercayaan (trash). Aaura negatif akan selalu membayangi interaksi kehidupan kita dengan berbagai kejahatan-kejahatan yang bentuknya sulit diprediksi.   

Tumpang tindih kepentingan ini bersifat negatif dan seperti parasit menempel di setiap sistem, struktur, organisasi, kelompok terutama negara. Ia akan menggorogoti setiap tempat dimana dia hidup dan akhirnya merusak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.

Karena seorang polisi punya bisnis kejahatan, maka dia akan sulit menumpas kejahatan secara tuntas. Karena akademisi punya kepentingan politik maka sulit baginya untuk menjadi kontributor ilmu yang etis. Seorang kyai akan sulit menilai interaksi kebudayaan jika kepentingan sosial kelompoknya membayangi setiap interaksinya. Dan negara karena punya kepentingan bisnis eksploitasi alam, maka akan sulit melakukan menyejahteraan masyarakat yang berbasis keadilan dan ramah lingkungan.


Wilayah arsir ini harus diarahkan menjadi the positif rhizome. Pembauran entitas yang disokong oleh spirit kebenaran dan bukan kepentingan. Spirit kebenaran, akan menjadi penguat bagi setiap entitas, untuk mencapai tujuan-tujuan mulia yang diembannya. 

Minggu, 22 Maret 2015

Tapak-tapak Sakti


Hujan yang mengepung tanah pada hakikat harfiahnya, tidak sekedar basah dalam kesejukan. Namun juga memberi kehidupan baru pada bumi. Hujan selalu menjadi energi bagi bumi. Tidak sekedar untuk bisa bertahan hidup, namun juga berubah dan berkembang. Kira-kira seperti itu hidayah bagi setiap hati yang dihinggapi. 

Sakti adalah salah satu personil Sheila On 7 yang paling besar pengorbanannya. Setelah menjajaki Jakarta dan tidur di samping kandang ayam menunggu panggilan rekaman, dia juga harus mengorbankan mobil VW col untuk biaya awal tapping. Berbuah manis. Baru album pertama, SO7 berhasil meraih pendatang terbaik dan penjualan album terbanyak versi Anugerah Musik Indonesia Award. 

Album-album selanjutnya seperti kacang goreng. Diborong fans tanpa sisa dan mencapai puncak pada peluncuran album Syepia. SO7 tak tertandingi. Lirik-lirik mereka adalah cermin paling aktual anak muda Indonesia. Komposisi musik mereka bergenre pop alternativ yang merupakan warna baru di nusantara.
Namun seperti menjadi sebuah kewajiban bahwa setiap band besar selalu menemui titik krisis nya selepas klimaks ketenaran mereka. SO7 juga mengamalami etape wajib itu. Sakti yang merupakan salah satu personil yang terganteng dan terbanyak fansnya menyatakan diri, keluar.

Publik termasuk saya langsung berkesimpulan sama. Sebuah band selalu menemui dinamika internalnya jika sudah mandi keteneran dan berlimpah harta. Mereka akan konflik satu sama lain dan akhirnya pecah atau ada personil yang hengkang. Ternyata, publik termasuk saya salah. SO7 tidak sedang berkonflik. Sakti tidak sedang marah dan berbeda prinsip dengan personil lainnya.

Infotaimen merilis penyataan konfrensi pers SO7 terkait hengkanya Sakti. Dengan senyuman dan candaan khasnya, Eros memberi keterangan bahwa “Sakti mau fokus belajar dulu” saat pewarta infoteimen mengejar pernyataan ini, Eros menegaskan “Sakti mau belajar agama”

Ah bodoh sekali Sakti. Begitu publik berguman sinis. Sama seperti saya. Emang agama melarang kesuksesan ? atau seberapa berat sih belajar agama, sampe harus meninggalkan berbagai kemegahan yang dirintis dari 0 itu. Sekali lagi publik dan termasuk saya sinis.

Terkhusus saya yang juga belajar agama sejak kecil dan kebetulan juga merintis nasib dengan main band, benar-benar tidak habis pikir. Jangan-jangan agama yang di pelajari Sakti itu ‘sesat’. Sikap Sakti itu secara tidak langsung menghina saya dan bejibun musisi yang belum masuk kategori artis. Kita cape-cape merintis perjalanan band secara keras, bersaing masuk dapur rekaman, menciptakan lagu berulang-ulang kali untuk mendapat apa yang di genggam sekarang olehnya, eh dia malah tinggalkan begitu saja. Sampai pada titik kedongkolan paling rajam, dengan tawa canda yang sinis kami meramai-ramai menertawai Sakti “ah sok agamais loe”

Tapi hidup tidak statis. Edane dalam sebuah album yang bertajuk “rock In 80’an” meneriakkan lantang “hidup ternyata ga se rock n roll yang kita pikirkan” hidup berberak dinamis- jika tidak mau menyebutnya keras.

Antara Langit dan Bumi.


Setelah beberapa hari yang mumat karena dinamisnya hidup, dua hari terakhir saya coba cari lagi Sakti yang dulu kita tertawai itu. Maklumlah, saat susah dan tersandera kegalauan, setiap manusia punya cara sendiri menemukan wadah pelarian. Selain mulai membaca-baca lagi buku agama, untuk mencari-cari pembenaran penguat hati. Aku juga mulai mengeluh-ngeluh lagi ke Tuhan. Sholat, puasa sunah, tahajud, duha, mengaji dan sesekali sedekah, meski kondisi tragis. Dan mencari-cari sejarah pertobatan personal-personal yang kebetulan dihinggapi hidayah.

Saya cari lagi Sakti. Siapa tau ada yang pisa dipetik. Cari di youtube, google dan fasilitas internet lainnya. Subahanaullah. Selain malu menampar pipi bolak balik dengan palu ghodam, rasa iri juga menusuk-nusuk ulu hati. Si “sok agamais” itu seakan menanyakan padaku “bagaimana bro? Nyaman? Tenang ?”

Yang pasti level ketundukan sudahlah Sakti jauh diatas. Berarti secara keilmuan juga tentu lebih jauh lagi meninggalkan saya. Dan yang paling membuat iri adalah latar belakang motiv “berpidah” Sakti. Ditengah gelimang harta, bermandikan penghargaan juga terseok-seok dengan pujaan, Sakti memilih bersikap dengan mantap. Dan setelah bersikap, Sakti menjaga konsistensinya (istiqomah) dalam kebahagiaan yang jauh dari retapan. Apa sikap ini membuat Sakti terpuruk ? tidak ! derajatnya naik, lebih terhormat dan lebih mulai, tidak hanya di hadapan manusia, tapi juga di hadapan Allah. Lalu kemudian dia merasa berkekurangan ? juga tidak. Dari artis, Sakti memilih berjualan kaos dan baju muslim di Jogja. Dengan enteng Sakti berguman “soal rezeki saya serahkan pada bos-nya Bos, yaitu Allah Ta’ala”

Seperti langit dan bumi, bedanya. Saya justru mengingat-ingat lagi bacaan sholat ketika tertimpa kesialan yang disebabkan oleh ketelodoran pribadi. Ketika harta hilang tiba-tiba sebab boros, tertipu oleh orang-orang, di kerjain, dimarah-marahi istri dan hina di mata keluarga. Jika Sakti lebih kepada menyelami cobaan, saya lebih tepatnya mengundang adzab.

Sakti meninggalkan kebahagiaan dunia untuk menyempurkan sikap dihadapan Tuhannya. Saya jutru ditinggalkan kebahagiaan dunia, baru kemudian tersontak dan merintih. Masih sempat-sempat pula memohon agar semua yang berbau-bau dunia itu dikembalikan lagi.

Meski hingga detik ini saya tetap berkeyakinan bahwa Sakti punya ilmu yang jauh menggantung diatas saya, tapi sempat saja keyakinan itu membuat otak meratap tak percaya pada kenyataan. Semacam kurang yakin jika Sakti bisa menyaingi saya, minimal berimbang dalam hal melahap buku-buku yang di tulis oleh ulama-ulama terkenal. Mendiskusikannya, bahkan sesekali menceramahinya untuk berbagi ke teman-teman. Saya dibesarkan oleh kedua orang tua yang sejak saya nongol dibumi, hingga mama almarhum dan papa kini menua tetap pada garis sayariat agama. Saya koq kurang yakin ya, jika Sakti pun punya ortu sehebat Papa dan Mama dalam hal agama. Jangankan asmahul husnah, Al Quran pun di hafal luar kepala sama Papa dan Mama.

Maka melihat kembali Sakti, terasa diri begitu kecil dan hina. Kecil sebab belum seberapalah pengorbanan ini jika dibanding Sakti. Meninggalkan kebejatan bukan karena memilih, tapi keterpaksaan karena situasi yang lagi apes. Yang pada tataran ini, konsistensi pun masih perlu teruji. Jangan-jangan ketika diberi kesempatan atau peluang untuk bejat lagi, eh malah tambah bejat.

Terasa Hina sebab mengabaikan ilmu/pengetahuan. Ini sikap yang bisa dikatakan tingkat kesialannya, lebih tinggi satu digit di atas bodoh. Bodoh itu, tidak tau, atau belum tau. Tapi kalau “mengabaikan” ilmu, itu kerugian diatas bodoh. Masa sih, tau ilmunya tapi diabaikan. Bahkan untuk sebagian kasus, pengabaian ilmu/pengetahuan ini sudah dialami akibat buruknya. Tapi tetap saja bebal.

Mengenali agama sejak orok membuat saya justru semakin jauh dari keberuntungan dalam mengecap nikmatnya hidayah. Sedangkan Sakti ? justru disirami hidayah saat bahagia dunia sedang di tingkat tertingginya. Ah bodoh sekali saya.

Tapi sudahlah. Membanding-bandingkan sembari mengidolai Sakti tidak akan bisa merubah segalanya tanpa tahapan selanjutnya; menerapkannya. Tuhan menguji setiap umatnya dengan tingkat kemampuannya masing-masing. Sakti salah satu bukti nyatanya. Mungkin juga banyak Sakti-Sakti lain yang mengkin lebih dahsyat namun luput dari publikasi.


۞ سَيَقُولُ ٱلسُّفَهَآءُ مِنَ ٱلنَّاسِ مَا وَلَّىٰهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ ٱلَّتِى كَانُوا۟ عَلَيْهَا ۚ قُل لِّلَّهِ ٱلْمَشْرِقُ وَٱلْمَغْرِبُ ۚ يَهْدِى مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".QS. Al-Baqarah ; 142




Berdamai Dengan Tekanan



Untuk menemukan harta karun, kita harus cerdas membaca peta-nya. Dan kebanyakan peta harta karun itu selalu abstrak. Dalam menemukannya, kita harus melewati terjalnya gunung, luas samudera dengan gelombang yang mengaung, dinginnya udara dan teriknya mentari. Yang kesemua itu bukan sekedar kebetulan tentang  ‘kesialan’ atau tantangan semata.  Bisa jadi itu petunjuk. Sebuah keharusan yang mesti dilalui sebagai jalan. Dan lagi-lagi waktulah hakim nya. Memutuskan seberapa kuat dan cerdas kita bertahan untuk meraih harta karun itu. 


Ini sebab, belakangan, tekanan terasa semakin berhikmah. Jika harus flash back pada pengalaman pribadi saya sebagai sample, misalnya saat masa awal-awal berhadapan dengan dunia nyata selepas Ortu ogah-ogahan memberi santunan, tekanan adalah sekedar kesialan. Sebuah kegagalan sementara yang menunda kesuksesan. Kala itu, masih mampu berpikir bahwa tekanan sekedar “sukses tertunda”. Tertunda karena kurang rajin, malas disiplin atau sebab kenakalan-kenakalan kecil saja. Nanti juga akan sukses lagi, jika ada perubahan-perubahan kecil pada diri.

Ternyata tekanan yang sering menyapa secara tiba-tiba itu, tidak sekedar “sukses tertunda” yang hampa nilai. Ada tuntunan sekaligus keharusan yang tidak bisa dihindari. Seperti Peta menuju lumbung “harta karun”. Dan hanya orang-orang yang bisa menafsirnya menjadi sebuah petunjuk, yang bisa melewatinya.

Tak heran jika para bijak bestari selalu menggunakan kata “ambil hikmahnya” sebagai nasehat yang paling tepat saat dikonsultasikan tentang kegagalan, tekanan bahkan tantangan.  Dan belakangan secara pribadi, saya baru mahfum bahwa hikmah yang dimaksud bukan ludah yang dengan mudah kita telan dan sudah itu selesai.

Ada proses pembelajaran yang harus kita jajaki. Bisa jadi itu baru Bab awal pelajaran panjang tentang apa yang disebut hikmah. Hikmah yang bukan sekedar ilmu “menghindari kesialan” tapi ilmu tentang bagaimana berdamai dengan tekanan. Tekanan yang lahir dari kegagalan atau kesialan atau bahkan kebahagiaan. Sebab secara religius yang namanya cobaan itu milik semua mahkluk. Mau makhluk yang gemar bersujud dan khusuk bermunajah, atau makhluk bejat yang cuek Tuhan sekali pun.

Benar memang, setiap kita bukan Nabi yang sengaja  dihadirkan sebagai teladan. Namun, buat apa nabi dihadirkan jika pengikutnya sulit mencontoh. Trus kendalanya apa ? Sebagai makhluk yang gemar disapa kegagalan, mungkin saya bisa sedikit berbagi kesimpulan yang dipetik dari risalah-risalah para bijak; sebagai pengikut para Nabi, kita hanya butuh terbiasa. Atau membiasakan diri, lebih tepatnya. Tidak harus menjadi Nabi, tapi setidaknya mengikuti petunjuk-pentunjuknya sebagai peta.    

Tekanan tidak melulu soal istri yang kecewa suaminya selingkuh, suami yang gagal membelikan mainan si bungsu, orang tua yang menyesali sikap bejat anaknya. Tekanan bisa hadir dalam rupa yang  sangat membahagiakan. Menang lotre mungkin, sukses berniaga, beristri cantik, bersuami setia atau sekedar lulus tes PNS. Sebab rupa yang membahagiakan itu selalu memikul beban. Dan sebuah kondisi yang ‘butuh’ kiat-kiat untuk mempertahankan, adalah tekanan yang terselubung halus.

Ini bukan tentang “harus memilih” sebab memilih itu, selalu saja soal dua atau lebih pilihan. Ini tentang “harus mengambil” sehingga hikmah yang dimaksud tidak berada pada ruang kosong yang hampa. Dan jika diharuskan untuk mengambil, maka proses ‘mengambil itu yang harus dimaknai. 

Secara sederhana; Ada dua unsur  yang perlu kita dorong sebagai sebuah sikap. Ikhtiar (usaha) untuk mengambil hikmah dan kepasrahan (penyerahan) pada tekanan. 

Kamis, 19 Maret 2015

Kopi-nya Dee

Judul buku : Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
Penulis : Dewi ‘Dee’ Lestari
Penerbit : Truedee Books dan GagasMedia
Tahun terbit : 2006
Jumlah halaman : 134
No. ISBN : 979-96257-3-4


Ketika Jurnalisme dibungkam, maka sastra adalah ruang tak bertuan yang siap menampung kegaduhan, kemarahan, kebahagiaan atau sekedar kekecewaan. Kira-kira begitu Seno Gumirah berceloteh dan belakangan menjadi trend memei yang berhamburan di internet.

Namun Jurnalisme tidak sedang dibungkam. Bungkam dalam artian “me”ngekang. Tapi Bungkam dalam spirit alienasi. Sebuah ketercerabutan eksistensi yang mengasingkan entitas dari sebuah kesadaran, menjadi ketidak sadaran. Kira-kira seperti itu Jurnalisme kita sedang bernasib.

Terasing justru disaat tak ada sedikit pun aturan yang melarangnya untuk melangsungkan fungsinya sebagai pewarta. Maka mereka-mereka yang gugur sebagai pahlawan pewarta di waktu yang silam akan cukup tersenyum sebagai jasad ketika membaca setiap perkembangan kesastraan tanah air.

Ketika Jurnalisme hanya milik orang-orang dengan pemikiran tentang kekuasaan dan keuntungan, sastra menyelip sebagai kendaraan bebas hambatan bagi mereka yang cinta pada kebebasan.  Kendaraan ini menampung bejibun keresahan aksara yang tidak sekedar untuk dikomersilkan di tengah-tengah interupsi kerasnya iklan-iklan produk.

Meski kini sastra juga terhimpit manisnya budaya pop dengan berbagai embel-embel-nya, tapi bukankah sastra tak harus dikonsumsi.  Sekedar dinikmati secara bebas di fasilitas Media Social yang bebas anggaran pun, Sastra menjadi berarti. Tidak seperti Jurnalisme masa kini. Sebuah reportase dikatakan sukses jika konflik yang ditampilkan berelasi dengan kekuasaan.

Sastra tidak.  Dan Dee “memanfaatkan” ruang itu.  Memanfaatkan karena dia seorang penyanyi. Selain itu juga artis. Sebuah profesi yang bisa bebas masuk-keluar sebagai item reportase dalam kepentingan apa pun. Dee memanfaatkan, karena dunia sastra bukan akting kejar tayang yang secara terkini, diminati oleh hampir semua jenis artis.  Mulai dari Mc, penyanyi, atau sekedar talenta sensasi.  

Dunia Sastra berbeda.  Wadah ini lebih selektif dalam mempublis kualitas. Jika sekedar mengejar setoran, maka si pelaku yang iseng-iseng masuk dunia ini akan terpelanting keluar dengan tragis. Tapi tidak dengan Dee.

Meski termasuk yang paling telat membaca karya Dee ini : Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade. Namun saya termasuk penikmat yang tercengang dengan suguhan karya ini. Dee meramu aksara secara khas. Awalnya nama Dee lebih familiar di mata saya dengan karya-karya novel yang lebih panjang dan memiliki ruang yang luas untuk berekspresi. Namun kali ini Cerpen dan prosa.

Awalnya jujur saja, saya orang yang tidak terlalu percaya pada talenta seorang penulis novel pop akan juga mampu menyusun cerpen sekaligus prosa se-indah ini. Adalah Goenawan Mohammad yang menarik perhatianku. “ah masa sih Goenawan Mohammad mau nguras kualitasnya hanya untuk sebuah kumpulan cerpen penulis muda” begitu pikir saya. Tapi baru lembar kedua, kesombongan saya terjawab. Dee memang layak.

Dengan karya kecil ini, Dee mencoba menampilkan Sastra kental yang disisip celoteh “kata-kata pop” sebagai pemanis. Ke khas-an nya di setiap novelnya pun terurai rapi dalam setiap cerpen. Tidak ada pembeda yang berarti, seperti yang kita temui pada pe-novel kebanyakan, yang nyambi nulis cerpen.

Meski kebanyakan cerpen dan prosanya mewakili keluhan yang tidak difalitasi Jurnalisme, tapi Dee tetap menjaga kesopanannya menyajikan aksara. Membebaskan gaya tuturnya dengan tetap menjaga plot di setiap cerita. Susunan cerpen dan prosanya pun rapi. Menjaga ritme emosi si penikmat hingga merasa terus haus untuk menenggak setiap kata dengan perlahan.

Selain Filosofi Kopi, Saya jatuh cinta pada Lara Lana. Dua cerita ini memiliki semua unsur kesastraan kontemporer. Nakal tapi sopan dengan presentasi kata yang rapi dan mencengangkan. Seperti pada pengantarnya Mas Goen memuji Dee pada setiap peletakan kata yang tidak hanya sekedar.

Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade. Disuguhkan dengan ramuan yang hati-hati. Tidak terlalu keras tapi juga ada berbagai penegasan disana. Lembut namun jauh dari picisan. Seperti Kopi Tiwus. Meski lahir dari kesederhanaan, tapi memiliki cita rasa yang mewah, bahkan megah.

Halmahera
20 Maret 2015